KBRN, Jakarta: Acara sarasehan bertajuk ”Pancasila, Bela Negara dan Peran WNI di luar
negeri” yang diselenggarakan KBRI Swedia pada tanggal 24 September 2017
tersebut juga membahas masalah-masalah aktual dan berkembang di dalam
negeri. Porsi besar mengenai masalah di dalam negeri itu juga mempunyai
dimensi internasional, ketika Indonesia sudah tidak tabu lagi dengan
keterbukaan terhadap informasi.
"Ancaman baru sekarang adalah
multi-dimensi. Dimulai dari terorisme, narkoba, radikalisme, illegal
logging sampai serangan cyber,” pesan Deputi Menko Polhukam Ir. Arief
Poerboyo Moekijat, Minggu (24/9/2017), di Stockholm.
Berbicara di depan masyarakat Indonesia yang antara lain terdiri dari Pengurus Asosiasi Indonesia-Swedia (SIS), Pengurus Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Swedia Arief menyatakan bahwa para WNI di luar negeri harus dapat mencintai dan “memiliki” Indonesia. “Mari kita tumbuhkan rasa cinta kita kepada Indonesia, dengan melaksanakan kewajiban kita dengan lebih baik sesuai tugas dan fungsi masing-masing,” ujar Arief.
Diskusi yang berlangsung meriah tersebut juga membahas bagaimana upaya membela negara merupakan sebuah bentuk nasionalisme dan patriotisme yang merupakan tanggung jawab bersama, baik oleh WNI berada di Tanah Air, maupun yang telah lama bermukim di luar negeri.
Dipandu oleh Hidayat Atjeh, Fungsi Pelaksana Pensosbud KBRI Stockholm, acara diskusi menampung beberapa komentar positif dan pertanyaan dari tokoh-tokoh masyarakat Indonesia baik yang telah puluhan tahun di Swedia, maupun mahasiswa Indonesia yang baru beberapa minggu di Stockholm. Disamping itu pimpinan Asosiasi Swedia - Indonesia juga menyambut baik acara tersebut dan menyarankan agar secara periodik kegiatan ini dilakukan untuk memperkuat hubungan sosial dan kebudayaan Indonesia dengan Swedia.
Pandangan positif berasal dari Peter Sengkey yang mengapresiasi paparan Kemenpolhukam. Yang bersangkutan juga memberikan contoh hasil karya Indonesia yang mengadopsi teknologi Nordik yang ramah lingkungan untuk pengembangan moda transportasi pembangunan kereta listrik di Jakarta. Hal tersebut memberikan nilai positif bagi Jakarta dan kota-kota besar lainnya.
Alfa Army Gery, mahasiswa Univeristas KTH menanyakan tentang contoh-contoh konkrit tentang ”bela negara” dan nilai-nilai Pancasila yang menyertainya. Sementara Katrun Nada Danielsson, Ketua Asosiasi Swedia-Indonesia (SIS) menyarankan tentang pentingnya fungsi pengajar pendidik yang perlu lebih kreatif menjelaskan nilai-nilai kebangsaan di pendidikan formal maupun informal.
Yang tidak kalah pentingnya adalah pernyataan Suryadi Gorda (85 tahun) yang telah 60 tahun bermukim di Swedia. Sebagai orang yang telah lama berada di luar negeri, rasa nasionalisme juga tidak luntur. Sejak bekerja di Swedia telah biasa mengisi acara dengan membawakan tarian Nusantara khususnya Bali di berbagai kota.
Deputi VI dalam menanggapi berbagai komentar tersebut dengan menyatakan bahwa teknologi dan inovasi Swedia perlu juga diterapkan di Indonesia. Aspek percepatan teknologi, perubahan geopolitik dan pertumbuhan ekonomi tersebut merupakan faktor-faktor penting agar dipergunakan untuk kesejahteraan rakyat Indonesia.
Mengenai masalah contoh ”bela negara”, Arief Moekijat menjelaskan tentang berkembangnya hakekat ancaman yang sudah bersifat multi-dimensi. Saat ini ancaman itu tidak lagi bersifat konvensional seperti invasi militer, namun juga ancaman baru dan lebih fatal, yaitu terorisme, radikalisme, illegal logging, illegal fishing dan serangan cyber. Oleh karena itu bela negara perlu dilengkapi dengan cara-cara inovatif untuk menghindari ancaman tersebut. Pelajaran Sishankamrata dan Wawasan Nusantara perlu perkenalkan kembali dan perlu lebih didalami.
Arief setuju dengan komentar Nada Danielsson bahwa perlu dirubah metode pendidikan yang sifatnya mengajar. Pendekatan pendidikan kewarganegaraan dimaksudkan sebagai pola dasar pikir dalam membina nilai dan moral bangsa, yakni Pancasila. Hal itu menunjukkan bahwa pembinaan kewarganegaraan indonesia, tidak mengikuti aliran bebas nilai (value free) tetapi menganut aliran berdasar nilai (value based) yaitu nilai Pancasila. Adapun prinsip yang harus diperhatikan dalam pembinaan moral/nilai warganegara yaitu : melalui keterpanggilan dan terlibatan aktif (engagement) pada siswa sendiri terhadap konsep moral nilai yang ditampilkan.
Berbicara di depan masyarakat Indonesia yang antara lain terdiri dari Pengurus Asosiasi Indonesia-Swedia (SIS), Pengurus Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Swedia Arief menyatakan bahwa para WNI di luar negeri harus dapat mencintai dan “memiliki” Indonesia. “Mari kita tumbuhkan rasa cinta kita kepada Indonesia, dengan melaksanakan kewajiban kita dengan lebih baik sesuai tugas dan fungsi masing-masing,” ujar Arief.
Diskusi yang berlangsung meriah tersebut juga membahas bagaimana upaya membela negara merupakan sebuah bentuk nasionalisme dan patriotisme yang merupakan tanggung jawab bersama, baik oleh WNI berada di Tanah Air, maupun yang telah lama bermukim di luar negeri.
Dipandu oleh Hidayat Atjeh, Fungsi Pelaksana Pensosbud KBRI Stockholm, acara diskusi menampung beberapa komentar positif dan pertanyaan dari tokoh-tokoh masyarakat Indonesia baik yang telah puluhan tahun di Swedia, maupun mahasiswa Indonesia yang baru beberapa minggu di Stockholm. Disamping itu pimpinan Asosiasi Swedia - Indonesia juga menyambut baik acara tersebut dan menyarankan agar secara periodik kegiatan ini dilakukan untuk memperkuat hubungan sosial dan kebudayaan Indonesia dengan Swedia.
Pandangan positif berasal dari Peter Sengkey yang mengapresiasi paparan Kemenpolhukam. Yang bersangkutan juga memberikan contoh hasil karya Indonesia yang mengadopsi teknologi Nordik yang ramah lingkungan untuk pengembangan moda transportasi pembangunan kereta listrik di Jakarta. Hal tersebut memberikan nilai positif bagi Jakarta dan kota-kota besar lainnya.
Alfa Army Gery, mahasiswa Univeristas KTH menanyakan tentang contoh-contoh konkrit tentang ”bela negara” dan nilai-nilai Pancasila yang menyertainya. Sementara Katrun Nada Danielsson, Ketua Asosiasi Swedia-Indonesia (SIS) menyarankan tentang pentingnya fungsi pengajar pendidik yang perlu lebih kreatif menjelaskan nilai-nilai kebangsaan di pendidikan formal maupun informal.
Yang tidak kalah pentingnya adalah pernyataan Suryadi Gorda (85 tahun) yang telah 60 tahun bermukim di Swedia. Sebagai orang yang telah lama berada di luar negeri, rasa nasionalisme juga tidak luntur. Sejak bekerja di Swedia telah biasa mengisi acara dengan membawakan tarian Nusantara khususnya Bali di berbagai kota.
Deputi VI dalam menanggapi berbagai komentar tersebut dengan menyatakan bahwa teknologi dan inovasi Swedia perlu juga diterapkan di Indonesia. Aspek percepatan teknologi, perubahan geopolitik dan pertumbuhan ekonomi tersebut merupakan faktor-faktor penting agar dipergunakan untuk kesejahteraan rakyat Indonesia.
Mengenai masalah contoh ”bela negara”, Arief Moekijat menjelaskan tentang berkembangnya hakekat ancaman yang sudah bersifat multi-dimensi. Saat ini ancaman itu tidak lagi bersifat konvensional seperti invasi militer, namun juga ancaman baru dan lebih fatal, yaitu terorisme, radikalisme, illegal logging, illegal fishing dan serangan cyber. Oleh karena itu bela negara perlu dilengkapi dengan cara-cara inovatif untuk menghindari ancaman tersebut. Pelajaran Sishankamrata dan Wawasan Nusantara perlu perkenalkan kembali dan perlu lebih didalami.
Arief setuju dengan komentar Nada Danielsson bahwa perlu dirubah metode pendidikan yang sifatnya mengajar. Pendekatan pendidikan kewarganegaraan dimaksudkan sebagai pola dasar pikir dalam membina nilai dan moral bangsa, yakni Pancasila. Hal itu menunjukkan bahwa pembinaan kewarganegaraan indonesia, tidak mengikuti aliran bebas nilai (value free) tetapi menganut aliran berdasar nilai (value based) yaitu nilai Pancasila. Adapun prinsip yang harus diperhatikan dalam pembinaan moral/nilai warganegara yaitu : melalui keterpanggilan dan terlibatan aktif (engagement) pada siswa sendiri terhadap konsep moral nilai yang ditampilkan.
Berkaitan dengan masalah resiko ancaman dari luar yang bersifat non-tradisional seperti infiltrasi asing, dijelaskan oleh Deputi VI bahwa saat ini Kemenpolhukam telah melakukan koordinasi dengan Kementerian lainnya terkait WNA yang menyalahgunakan bebas visa 30 hari untuk bekerja di Indonesia. Selain itu, pemerintah juga sedang mengkaji dampak negatif dari kebijakan tersebut misalnya dalam bidang ketenagakerjaan, keamanan dan ekonomi.
Salah satu mahasiswa Alfi Hadi Firdaus, diminta Deputi Menko Polhukam menyampaikan isi sila-sila Pancasila. Dengan lancar Alfi menjawab dan sebagai hadiahnya diberikan buku tentang Pemantapan Wawasan Kebangsaan dan compact disc tentang materi 45 sifat karakter Bangsa.
Di akhir acara, Deputi VI menyampaikan himbauan kepada peserta beberapa langkah dalam meningkatkan rasa nasionalisme di era globalisasi yakni dengan memperkuat jati diri dengan nilai dasar Pancasila, meningkatkan kualitas SDM agar dapat bersaing di era globalisasi tanpa menanggalkan jati diri sebagai bangsa Indonesia yang terkenal toleran, ramah dan suka bergotong-royong, meningkatkan kualitas pendidikan masyarakat agar tidak mudah disusupi oleh ideologi-ideologi radikal. ”Pancasila sudah harga mati, tidak boleh ditawar-tawar,” tegas Arief Mokijat.
Dubes RI Bagas Hapsoro menyampaikan apresiasi kepada Deputi Menkopolhukam dan menyambut baik acara yang menggarisbawahi perlunya sinergi penguatan ilmu pengetahuan dengan penguatan rasa nasionalisme Indonesia. “Untuk itu, peran aktif dan kontribusi Diaspora Indonesia yang memiliki profesionalisme dan kompetensi handal di bidang masing-masing sangat diperlukan dalam menuntut ilmu pengetahuan dan memperkuat ideologi bangsa Indonesia”, kata Bagas Hapsoro.
Sarasehan berkesimpulan bahwa keahlian dan pengalaman diaspora Indonesia di luar negeri dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi harus mampu dikontribusikan bagi bangsa dan negara RI, terutama di bidang perekonomian, sosial, dan budaya. (RM/Rilis KBRI Stockholm/AKS)
Sumber: http://rri.co.id/surabaya/post/berita/437693/nasional/bela_negara_adalah_mutlak_untuk_mengawal_pancasila.html